Senin, 25 April 2016

                                    SECAWAN TEH
                                                                        ***
            Sinar Mentari pagi menyelusup melewati ventilasi jendela kamarku, aku perlahan membuka kelopak mataku tenyata pagi telah datang menyambut kebangkitanku. Pagi memang selalu menggairahkan diantara potongan 24jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi, malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan. Seketika pandanganku mencari cari benda berbentuk lingkaran yang terdapat di dinding kamarku, setelah aku menemukannya aku mencoba memfokuskan pandanganku kea rah jarum jam itu, tenyata pukul 05.45 , Oh tuhan aku kesiangan seketika  langsung ku bergegas menuju ke kamar mandi untuk membasuh tubuh ini.
Seperti biasa setelah aku bersiap menjalankan kewajibanku untuk menimba ilmu, hidangan makan pagi sudah ada dimeja makan menantiku. Rutinitas ini memang tak bisa ditinggalkan lagi, makan pagi memang sangatlah penting untuk asupan otak untuk memulai aktifitas yang mengguras otak, kembali. Setelah dirasa cukup, aku langsung bergegas untuk berangkat menimba ilmu karena tuntutan pendidikan. Seperti biasa ayahku tersayang yang mengantarkaku untuk datang ketempat yang mengharuskanku untuk menimba ilmu. Dan sekarang ia telah menanti.
“Audine cepat, nanti kamu terlambat?” kata ayahku yang seolah seperti membentak
“ Iya, Ayah sebentar Audine sedang memakai sepatu, yah.” Akupun tergesa tegesa saat mengenakan sepatu khawatir jikalau ayah marah jadi, aku mengenakan sepatuku secepat yangku bisa.
“Sudah yah, mari berangkat.” Kataku seperti tayangan anak di televisi yang seolah tak sabar untuk mengajak ayahnya untuk segera berangkat. Ayah memang disiplin , beliau tak mau jika terlambat walu sedektikpun, katanya “Satu detik adalah emas, ayah tidak mau jika emas itu ayah cecerkan dengan semena-mena tak ada gunanya.” Itu yang sering ayahku lontarkan jika aku terlambat.
“Lain kali, bangunya lebih awal lagi yaa. Ayah tidak mau terlambat, terlamabat satu detik saja berapa hal yang terbuang sia-sia, bukan kamu saja yang tidak boleh terlambat ayah juga demikian.” Saran ayah padaku yang memang saat itu aku sedikit kesiangan.
“Iya, Ayah. Tadi Audien mengecek tugas Audien dulu untuk memastikan bahwa semuanya sudah dikerjakan dan tidak tertinggal.” Jelasku singkat kepada ayah.
“ Kalau mau mengecek lebih baik di malam hariketika kamu tidur ya Audien supaya kamu tidak gugup seperti tadi pagi. Lain kali, jangan diulangi lagi ya?”
“ Iya, Ayah. Audien janji akan melakukan seperti apa yang ayah katakana tadi.” Ucapku kepada ayah.
            Setelah perjalanan yang lumanayan lama, akhirnya sampailah di tempat dimana aku menimba ilmu untuk masa depanku. Setelah aku pamitan dengan ayahku, ayah langsung bergegas segera menuju kantornya. Akupun langsung masuk kesekolah dan tak lupa juga untuk absensi dengan menggunakan Fingerprint dan langsung masuk ke ruang kelas. Saat aku memasuki kelas seperti biasa kelasku ramai bak pasar menjelang lebaran.
“Memang ada tugas apa lagi, han?” tanyaku kepada Jihan teman sebangkuku
“Biasa tugas proyek Mom Austine.” Jawab Jihan singkat
“Untunglah aku sudah mengerjaknnya.” Jawabku tenang
 Teet.. teettt.. teett…
Bel bertanda masuk pun berdering, dan inilah saat dimana proses menimba ilmuku dimulai.
                                                                        ***
Teetttttttt…….
 Bel pulang berbunyi. Akupun segera bergegas keluar kelas untuk segera menuju halaman depan kelas dimana Om Rudi supir keluargaku sudah menantiku.
“Jihan, nanti jangan lupa ya kerumahku pukul 17.00, Oke.” Ucapku kepada Jihan
“Baiklah.” Jawab Jihan singkat
Aku langsung masuk kedalam mobil, dan Om rudi segera tancap gas untuk segera kembali ke rumah. Sesampainya dirumah, aku segera mandi dan mempersiapkan tempat untuk melakukan tugas proyek dari Mom Austine, lagi. Tak lama kemudian.
“Audine, ini ada Jihan.” Seru kak Widy dari bawah
“Iya, kak tunggu sebentar.” Sahutku dari ruang belajarku
Aku segera menghampiri Jihan dan mengajaknya menuju ruang belajarku. Jihan adalah teman terbaiku di kelas, dia pandai di ilmu matematika meskipun dia tidak mengikuti bimbingan. Ia bahkan selalu mendapat peringkat di kelas.
“Jadi, langsung saja yaa kita mulai. Sebentar ya, aku bersiap dahulu?” ujarku pada Jihan
“Iya silakan, tak apa?” jawabnya lirih
Setelah berpamitan kepada Jihan untuk bersiap, aku kembali ketempat belajar dengan membawa secawan teh dan makanan kecil lainya.
“Ya ampun , Audine udah tidak usah repot begitu. Kita kan mau belajar bukan mau nyemil?”
“ Tak apa jihan, inikan buat selingan saja?” timpalku pada jihan
“Baiklah, ayo kita segera memulai projret ini, nanti keburu malam loh?”
“Oke oke baiklah” 
Kamipun segera memulai project Mom Austine, awalnya kami tak mengerti apa maksud dari project tersebut. Akhirnya Aku dan Jihan mencoba-coba untuk memahami apa maksud dari project yang diberikan Mom Austine. Setelah kurang lebih 45 menit kamipun tahu apa yang dimaksud oleh Mom Austine, dan kami mulai mengerjakannya sampai sekitar jam 19.30.
“Yeee.. Akhirnya selesai jugaa.” Seruku pada Jihan
“Iya, Allhamdullilah yah akhirnya selesai. Ngomong ngomong hari sudah beranjak petang, sepertinya aku harus segera pulang.” Ucap Jihan sembari membereskan barang-barang kepunyaanya.
“ Hemm… baiklah, mari aku antar kedepan?” Akupun mengantarkan Jihan samapai kedepan rumahku.
“Umm, Jihan kamu kesini naik sepeda bagaimana jika aku antar saja kau sampai kerumah?” tawarku pada jihan.
“Tak apa Audine, aku sudah terbiasa mengayuh sepedahku dijalanan gelap seperti ini.”
“Tapi kamu perempuan han, tak sepatutnya perempuan bersepeda di jam malam seperti ini. Sudah, lebih baik aku antarkan saja.” Paksaku kepada Jihan
“ Tidak usah Audine, tak apa. Lagi pula kasihan juga Om Rudi ini sudah jamnya dia untuk beristirahat bukan. Alangkah baiknya aku segera pulang, aku pamit dulu Audine. Selamat malam” ucap jihan nyelonong begitu saja
“Tapii.. jihan tapi….?”
“Sudah beristirahatlah, byee.. Audine.”
Jihan pergi begitu saja tanpa menghiraukan perkataanku, akupun hanya terpaku melihatnya pulang begitu saja. Tapi apa boleh buat memang sifat jihan seperti itu, keras kepala.
                                                                        ***
            Seperti biasa pagi sekitar pukul 06.30 aku sudah disekolah, tiba tiba seorang lelaki paruh baya yang mendekatiku, aku sontak merasa kaget sekaligus takut menghadapinya.
“Emm… Permisi mba. Apa mba tahu mana ruang kelas Jihan?" lelaki paruhbaya itu mendekatiku dan menanyakan dimana kelas jihan.
“Emmm, jihan sekelas dengan saya, pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku bingung
“Kebetulan sekali, ini surat izin Jihan. Hari ini dia tidak masuk sekolah.”
“Jihan kenapa pak, sakit?”
“Iya, nak dia demam. Semalaman badanya panas, dan dia terus-terusan mengigau semalam. Kalau begitu, Bapak pamit dulu ya nak, mari.” Ucap Ayah Jihan dengan nada terburu-buru.
Belum sempat aku bertanya menyeluruh tentang keadaan Jihan, Ayahnya malah sudah lebih dulu pergi, mungkin Ayah jihan seperti Ayahku yang tak mau sedetikpun terlambat untuk bekerja.
            Hari ini sekolahku mengadakan kunjungan ke kawasan daur ulang botol dan gelas pelastik khusus untuk mata pelajaran kewirausahaan. Kami disana diajarkan bagaimana mengolah botol dan gelas pelastik bekas menjadi keseniaan yang berharga jual cukup tinggi. Kami diajarkan bagaimana cara membuat bunga, kincir angin, lampion, temapt pensil,tas dan masih banyak yang lainya.
            Saat aku sedang memilah botol bekas yang akan dibersihkan,tiba-tiba datang seorang lelaki paruh baya yang akan menjual botol bekas yang telah ia kumpulkan. Aku memangang wajah lelaki tua itu, seperti pernah melihat dimana, gumamku. Aku berusaha mengingatnya tapi aku tak bisa, akupun menghiraukanya dan melanjutkan apa yang sedang aku kerjakan kembali.
                                                                        ***
            Sepulang sekolah aku berniat menjenguk Jihan kerumahnya, akupun langsung memerintahkan Om Rudi untuk mengantarku ke kediaman Jihan. Sesampainya aku di kediaman Jihan aku langsung mengetuk pintunya, namun taka da sautan dari dalam. Berkali kali aku mengetuknya tetap saja taka da jawaban. Akhirnya akupun nekat untuk masuk kedalam rumah Jihan dan mencari-cari dimana kamar Jihan. Akhirnya aku menemukanya dan jihan sedang meringkuk kedinginan akupun menghampirinya dan mengecek suhu tubuhnya saat aku memegang dahinya sunggu panasnya melebihi keadaan biasa. Akupun panik dan segera menyuruh Om Rudi untuk memanggil dokter. Tak lama kemudian Om Rudi dan pak Dokter datang, dan langsung memeriksa kondisi Jihan.
            Ayah jihan pun pualang ke rumah dan syok saat tahu banwa aku sudah ada di rumahnya. Aku memandang wajah Ayah Jihan ternyata aku tahu siapa yang tadi datang ke kulak botol bekas tadi, ternyata Ayah Jihan. Ya tuhan, Sungguh mulia sekali hati Ayah jihan ini, ia setiap pagi berpakaian rapi menggunakan jas namun ternyata di balik itu ia hanya bekerja sebagai orang yang menjadi penyetor botol bekas. Ia melakukan ini semua hanya untuk membiayai Jihan dan ia tak ingin mengecewakan jihan bila ia hanya bekerja sebagai  penyetor botol bekas oleh karena itu ia setiap pagi berpakaian rapi.
            Melihat betapa gigihnya Ayah Jihan seketika mngingatkanku, Aku yang berasa dari keluarga yang berkecukupan saja jarang bersyukur kepada tuhan atas apa yang telah ia limpahkan. Dan dari kejadian ini aku sadar bahwa aku layaknya senatiasa terus berdyukur kepada tuhan, karena apapun pemberiannya pasti ada hikma dibalik itu semua.  Terkadang Hidup ini layaknya secawan teh. Tidak peduli seberapa pahit teh atau kopi tersebut tetapi selalu menyenangkan. Jika kita membuatnya dengan sepenuh ahti pasti akan lebih nikmat. Tidak terlalu manis juga tidak terlalu pahit, itulah makna sebuah hidup kita harus menikmati segala rencana tuhan yang di berikan kepada kita dan kita akan mendapatkan sebuah teh yang dapat menenangkan hidup kita.

                                                                        ***




Ditulis oleh : Winie Hindawati





Tidak ada komentar:

Posting Komentar