SECAWAN TEH
***
Sinar Mentari pagi menyelusup
melewati ventilasi jendela kamarku, aku perlahan membuka kelopak mataku tenyata
pagi telah datang menyambut kebangkitanku. Pagi memang selalu menggairahkan
diantara potongan 24jam sehari, bagiku
pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun
menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama
kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan. Pagi,
berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu
malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi, malam-malam panjang,
gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan. Seketika pandanganku
mencari cari benda berbentuk lingkaran yang terdapat di dinding kamarku,
setelah aku menemukannya aku mencoba memfokuskan pandanganku kea rah jarum jam
itu, tenyata pukul 05.45 , Oh tuhan aku kesiangan seketika langsung ku bergegas menuju ke kamar mandi
untuk membasuh tubuh ini.
Seperti biasa setelah aku bersiap menjalankan kewajibanku
untuk menimba ilmu, hidangan makan pagi sudah ada dimeja makan menantiku. Rutinitas
ini memang tak bisa ditinggalkan lagi, makan pagi memang sangatlah penting
untuk asupan otak untuk memulai aktifitas yang mengguras otak, kembali. Setelah
dirasa cukup, aku langsung bergegas untuk berangkat menimba ilmu karena
tuntutan pendidikan. Seperti biasa ayahku tersayang yang mengantarkaku untuk
datang ketempat yang mengharuskanku untuk menimba ilmu. Dan sekarang ia telah
menanti.
“Audine
cepat, nanti kamu terlambat?” kata ayahku yang seolah seperti membentak
“ Iya, Ayah
sebentar Audine sedang memakai sepatu, yah.” Akupun tergesa tegesa saat
mengenakan sepatu khawatir jikalau ayah marah jadi, aku mengenakan sepatuku
secepat yangku bisa.
“Sudah yah,
mari berangkat.” Kataku seperti tayangan anak di televisi yang seolah tak sabar
untuk mengajak ayahnya untuk segera berangkat. Ayah memang disiplin , beliau
tak mau jika terlambat walu sedektikpun, katanya “Satu detik adalah emas, ayah
tidak mau jika emas itu ayah cecerkan dengan semena-mena tak ada gunanya.” Itu
yang sering ayahku lontarkan jika aku terlambat.
“Lain kali,
bangunya lebih awal lagi yaa. Ayah tidak mau terlambat, terlamabat satu detik
saja berapa hal yang terbuang sia-sia, bukan kamu saja yang tidak boleh terlambat
ayah juga demikian.” Saran ayah padaku yang memang saat itu aku sedikit
kesiangan.
“Iya, Ayah.
Tadi Audien mengecek tugas Audien dulu untuk memastikan bahwa semuanya sudah
dikerjakan dan tidak tertinggal.” Jelasku singkat kepada ayah.
“ Kalau mau
mengecek lebih baik di malam hariketika kamu tidur ya Audien supaya kamu tidak
gugup seperti tadi pagi. Lain kali, jangan diulangi lagi ya?”
“ Iya, Ayah.
Audien janji akan melakukan seperti apa yang ayah katakana tadi.” Ucapku kepada
ayah.
Setelah perjalanan yang lumanayan lama,
akhirnya sampailah di tempat dimana aku menimba ilmu untuk masa depanku.
Setelah aku pamitan dengan ayahku, ayah langsung bergegas segera menuju
kantornya. Akupun langsung masuk kesekolah dan tak lupa juga untuk absensi
dengan menggunakan Fingerprint dan
langsung masuk ke ruang kelas. Saat aku memasuki kelas seperti biasa kelasku
ramai bak pasar menjelang lebaran.
“Memang ada
tugas apa lagi, han?” tanyaku kepada Jihan teman sebangkuku
“Biasa tugas
proyek Mom Austine.” Jawab Jihan
singkat
“Untunglah
aku sudah mengerjaknnya.” Jawabku tenang
Teet.. teettt.. teett…
Bel bertanda
masuk pun berdering, dan inilah saat dimana proses menimba ilmuku dimulai.
***
Teetttttttt…….
Bel pulang berbunyi. Akupun segera bergegas
keluar kelas untuk segera menuju halaman depan kelas dimana Om Rudi supir
keluargaku sudah menantiku.
“Jihan,
nanti jangan lupa ya kerumahku pukul 17.00, Oke.” Ucapku kepada Jihan
“Baiklah.”
Jawab Jihan singkat
Aku langsung masuk kedalam mobil, dan Om rudi segera tancap
gas untuk segera kembali ke rumah. Sesampainya dirumah, aku segera mandi dan
mempersiapkan tempat untuk melakukan tugas proyek dari Mom Austine, lagi. Tak
lama kemudian.
“Audine, ini
ada Jihan.” Seru kak Widy dari bawah
“Iya, kak
tunggu sebentar.” Sahutku dari ruang belajarku
Aku segera
menghampiri Jihan dan mengajaknya menuju ruang belajarku. Jihan adalah teman
terbaiku di kelas, dia pandai di ilmu matematika meskipun dia tidak mengikuti
bimbingan. Ia bahkan selalu mendapat peringkat di kelas.
“Jadi,
langsung saja yaa kita mulai. Sebentar ya, aku bersiap dahulu?” ujarku pada
Jihan
“Iya
silakan, tak apa?” jawabnya lirih
Setelah
berpamitan kepada Jihan untuk bersiap, aku kembali ketempat belajar dengan
membawa secawan teh dan makanan kecil lainya.
“Ya ampun ,
Audine udah tidak usah repot begitu. Kita kan mau belajar bukan mau nyemil?”
“ Tak apa
jihan, inikan buat selingan saja?” timpalku pada jihan
“Baiklah,
ayo kita segera memulai projret ini, nanti keburu malam loh?”
“Oke oke
baiklah”
Kamipun
segera memulai project Mom Austine,
awalnya kami tak mengerti apa maksud dari project tersebut. Akhirnya Aku dan
Jihan mencoba-coba untuk memahami apa maksud dari project yang diberikan Mom Austine. Setelah kurang lebih 45 menit
kamipun tahu apa yang dimaksud oleh Mom
Austine, dan kami mulai mengerjakannya sampai sekitar jam 19.30.
“Yeee..
Akhirnya selesai jugaa.” Seruku pada Jihan
“Iya,
Allhamdullilah yah akhirnya selesai. Ngomong ngomong hari sudah beranjak petang,
sepertinya aku harus segera pulang.” Ucap Jihan sembari membereskan
barang-barang kepunyaanya.
“ Hemm…
baiklah, mari aku antar kedepan?” Akupun mengantarkan Jihan samapai kedepan
rumahku.
“Umm, Jihan
kamu kesini naik sepeda bagaimana jika aku antar saja kau sampai kerumah?”
tawarku pada jihan.
“Tak apa
Audine, aku sudah terbiasa mengayuh sepedahku dijalanan gelap seperti ini.”
“Tapi kamu
perempuan han, tak sepatutnya perempuan bersepeda di jam malam seperti ini.
Sudah, lebih baik aku antarkan saja.” Paksaku kepada Jihan
“ Tidak usah
Audine, tak apa. Lagi pula kasihan juga Om Rudi ini sudah jamnya dia untuk
beristirahat bukan. Alangkah baiknya aku segera pulang, aku pamit dulu Audine.
Selamat malam” ucap jihan nyelonong begitu saja
“Tapii..
jihan tapi….?”
“Sudah
beristirahatlah, byee.. Audine.”
Jihan pergi
begitu saja tanpa menghiraukan perkataanku, akupun hanya terpaku melihatnya
pulang begitu saja. Tapi apa boleh buat memang sifat jihan seperti itu, keras
kepala.
***
Seperti biasa pagi sekitar pukul
06.30 aku sudah disekolah, tiba tiba seorang lelaki paruh baya yang
mendekatiku, aku sontak merasa kaget sekaligus takut menghadapinya.
“Emm…
Permisi mba. Apa mba tahu mana ruang kelas Jihan?" lelaki paruhbaya itu
mendekatiku dan menanyakan dimana kelas jihan.
“Emmm, jihan
sekelas dengan saya, pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku bingung
“Kebetulan
sekali, ini surat izin Jihan. Hari ini dia tidak masuk sekolah.”
“Jihan
kenapa pak, sakit?”
“Iya, nak
dia demam. Semalaman badanya panas, dan dia terus-terusan mengigau semalam.
Kalau begitu, Bapak pamit dulu ya nak, mari.” Ucap Ayah Jihan dengan nada
terburu-buru.
Belum sempat aku bertanya menyeluruh tentang keadaan Jihan,
Ayahnya malah sudah lebih dulu pergi, mungkin Ayah jihan seperti Ayahku yang
tak mau sedetikpun terlambat untuk bekerja.
Hari ini sekolahku mengadakan
kunjungan ke kawasan daur ulang botol dan gelas pelastik khusus untuk mata
pelajaran kewirausahaan. Kami disana diajarkan bagaimana mengolah botol dan
gelas pelastik bekas menjadi keseniaan yang berharga jual cukup tinggi. Kami
diajarkan bagaimana cara membuat bunga, kincir angin, lampion, temapt
pensil,tas dan masih banyak yang lainya.
Saat aku sedang memilah botol bekas
yang akan dibersihkan,tiba-tiba datang seorang lelaki paruh baya yang akan menjual botol
bekas yang telah ia kumpulkan. Aku memangang wajah lelaki tua itu, seperti
pernah melihat dimana, gumamku. Aku berusaha mengingatnya tapi aku tak bisa,
akupun menghiraukanya dan melanjutkan apa yang sedang aku kerjakan kembali.
***
Sepulang sekolah aku berniat
menjenguk Jihan kerumahnya, akupun langsung memerintahkan Om Rudi untuk
mengantarku ke kediaman Jihan. Sesampainya aku di kediaman Jihan aku langsung
mengetuk pintunya, namun taka da sautan dari dalam. Berkali kali aku mengetuknya
tetap saja taka da jawaban. Akhirnya akupun nekat untuk masuk kedalam rumah
Jihan dan mencari-cari dimana kamar Jihan. Akhirnya aku menemukanya dan jihan
sedang meringkuk kedinginan akupun menghampirinya dan mengecek suhu tubuhnya
saat aku memegang dahinya sunggu panasnya melebihi keadaan biasa. Akupun panik
dan segera menyuruh Om Rudi untuk memanggil dokter. Tak lama kemudian Om Rudi
dan pak Dokter datang, dan langsung memeriksa kondisi Jihan.
Ayah jihan pun pualang ke rumah dan
syok saat tahu banwa aku sudah ada di rumahnya. Aku memandang wajah Ayah Jihan
ternyata aku tahu siapa yang tadi datang ke kulak botol bekas tadi, ternyata
Ayah Jihan. Ya tuhan, Sungguh mulia sekali hati Ayah jihan ini, ia setiap pagi
berpakaian rapi menggunakan jas namun ternyata di balik itu ia hanya bekerja
sebagai orang yang menjadi penyetor botol bekas. Ia melakukan ini semua hanya
untuk membiayai Jihan dan ia tak ingin mengecewakan jihan bila ia hanya bekerja
sebagai penyetor botol bekas oleh karena
itu ia setiap pagi berpakaian rapi.
Melihat betapa gigihnya Ayah Jihan
seketika mngingatkanku, Aku yang berasa dari keluarga yang berkecukupan saja
jarang bersyukur kepada tuhan atas apa yang telah ia limpahkan. Dan dari
kejadian ini aku sadar bahwa aku layaknya senatiasa terus berdyukur kepada
tuhan, karena apapun pemberiannya pasti ada hikma dibalik itu semua.
Terkadang Hidup ini layaknya secawan teh. Tidak peduli seberapa pahit teh atau kopi
tersebut tetapi selalu menyenangkan. Jika kita membuatnya dengan sepenuh ahti pasti akan lebih
nikmat. Tidak terlalu manis juga tidak terlalu pahit, itulah makna sebuah hidup
kita harus menikmati segala rencana tuhan yang di berikan kepada kita dan kita
akan mendapatkan sebuah teh yang dapat menenangkan hidup kita.
***
Ditulis oleh : Winie Hindawati